::SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI::
ARSIP-ARSIP BLOG

Kamis, 04 Oktober 2007

Kekerasan bukan penyelesaian


Ngeri sekali negeriku saat ini. Kira-kira seperti itulah kesan pertama yang saya tangkap ketika sedang membaca sebuah berita yang nangkring di halamn utama sebuah harian nasional. Dalam terbitan hari sabtu 29 september 2007, harian tersebut memberitakan tentang kebrutalan jama’ah yang mengatasnamakan pembela islam di daerah timur bumi pertiwi. Betapa tidak, dalam pemberitaan tersebut mereka seolah-olah adalah para penguasa yang bertangan besi. Mereka dengan seenaknya melakukan sweeping tanpa kewenangan atau izin dari pihak yang berwajib.

Alih-alih pengen membela islam, justru karena merekalah islam menjadi roboh dan terkesan bringas. Lantas apakah benar seperti itu ajaran yang di bawa oleh Rosulullah Saw? Apakah benar kekejaman dan kekerasan adalah tipikal dakwah yang diajarkan oleh sayyidul anbiya’ itu? Bukankah islam adalah rahmat bagi seluruh alam raya ini?

Dalam surat ali imran ayat 259 Allah sangat mewanti-wanti baginda rosul agar dalam berdakwah hendaknya dengan kelembutan dan kehalusan tidak dengan kekerasan, karena kekerasanlah yang semakin mejadikan mereka berpaling dari ajaran islam, demikian juga Allah menyeru agar lebih bisa bersikap memaafkan dan tidak memaksakan kehendak dalam suatu perkara.

Mari kita lihat cara Rosulullah berdakwah, pada awal munculnya islam, ka’bah saat itu dipenuhi dengan berhala. Apakah kemudian Rosulullah mengahancurkan semua berhala tersebut baru setelah itu menyeru kepada kalimat tauhid? Ternyata tidak, perihal pertama yang baginda rosul lakukan adalah dengan menanamkan keesaan Allah dalam diri kaum kafir arab saat itu, adapun berhala-berhala yang mengitari ka’bah rosul biarkan tetap kokoh. Bisa kita lihat dengan lambat laun ternyata kekuatan hati yang telah tertanami kalimat tauhid mampu merobohkan semua berhala tanpa sisa.

Begitu juga akan kita jumpai para wali songo yang berdakwah di tanah jawa, mereka tidak serta merta menolak upacara maupun ritual peninggalan agama hindu budha. Bahkan sebaliknnya mereka mengadopsi kesemuanya itu, lalu dikemas dengan kemasan yang indah, sebagaimana sunan kalijaga mengemas ajaran rukun islam dalam gending ilir-ilir, demikian juga beliau mengemas ajaran ihsan dalam lagu sluku-sluku bathok. Kesemuanya itu demi menserasikan ajaran islam yang kaffah dengan budaya-budaya lokal, sehingga benar timbul kesan bahwa islam mengayomi segala macam kultur budaya dan adat istiadat anak cucu adam . Perlu kita ketahui bersama bahwa islam adalah agam yang universal, bukan semata arabic oriented. Islam mampu melampai batas ras maupun negara tanpa harus menanggalkan esensi yang terkandung di dalamnya.

Di sisi lain Rosulullah bersabda dalam sebuah hadits “permudahlah dan jangan mempersulit” juga “kami,para nabi diutus oleh Allah dalam rangka memberikan perncerahan sebatas kekuatan akal mereka bukan akal kami”. Dari kedua hadits di atas bisa kita simpulkan bahwa memang islam diajarkan sesuai dengan kemampuan lawan dakwahnya tanpa harus memaksakan kehendak. Bukankah semua amalibadah seorang hamba tidak ngefek terhadap ketuhananNya? Begitu pula kemaksiatan mereka tidak mengurangi sifat tuhanNya? Sehingga kalau kita perhatikan, semua bentuk peribadatan yang Allah wajibkan pasti yang sesuai dengan kemampuan hamba-hambaNya. Contoh kecil misalnya puasa. Puasa tidak diwajibkan kecuali bagi yang sehat, mampu, tidak dalam perjalanan serta tidak dalam keadaan yang dilarang puasa-seperti haida dan nifas-. Demikian juga zakat, shalat dan haji, kesemuanya hanya diwajibkan kepada hamba yang mampu, adapun yang tidak mampu maka boleh untuk tidak mengerjakanya.

Dalam tulisan ini saya tidak ingin mencela ataupun mencari-cari kesalahn oranglain, namun sekedar koreksi bersama, bahwa kekerasan bukanlah satu-satunya jalan dalam berdakwah. Dan ternyata masih ada banyak pendekatan yang bisa dilakukan dalam ranka menjadikan orang lain lebih baik, dengan pendekatan persuasif misalnya. Itu semua agar kita sadar bahwa islam adalah rahmat bagi seluruh alam raya dan tidak sebaliknya. Wallahu a’lam bi alshawab.