::SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI::
ARSIP-ARSIP BLOG

Kamis, 20 September 2007

Tasawuf positif

“Raihlah apa yang telah diberikan Allah dari kehidupan akhirat, tapi jangan engkau lupakan kehidupan duniamu”

Tasawuf sebagai kawah condro di muko (media penggemblengan) ternyata tidaklah sesempurna konsep yang telah ditawarkan oleh para mursyid thoriqah dalam ranah aplikasi. Begitu kira-kira komentar mereka yang menolak ajaran tasawuf, dan hal inilah yang menjadikan sebagian orang hanya memandang sebelah mata terhadap tasawuf bahkan tidak segan-segan mengatakanya sebagai media yang mandul, tidak membuahkan hasil apapun.

Lebih ekstrim lagi ketika syeikh Sofwat -penanggung jawab abna’ Thariqah Dasukiyah Muhammadiyah (yang kemudian penulis singkat dengan TDM) wilayah bagian asia dan sekitarnya- bercerita berkenaan dengan terma kita yang satu ini. Suatu ketika, tatkala beliau bertemu dengan orang indonesia dia bertanya tentang thariqah “bagaimana pendapat anda tentang thariqah dan kenapa anda tidak mengambil thariqah?” mahasiswa tersebut menjawab dengan simpelnya “kenapa aku harus ikut thariqah yang kebanyakan para muridnya menjadi gagal dalam studinya”.

Dari dialog diatas syeikh menyimpulkan bahwa ternyata thariqah di imejkan orang dengan kegagalan para abna’ atau murid mereka sendiri. Sehingga timbul pertanyaan, apakah memang benar thariqah secara khusus dan tasawuf secara umum mengajarkan kemalasan bagi para pengikutnya? Sehingga mereka sering apriori dengan kehidupan kaum sufi yang seakan-akan menjadi simbol kebodohan dan kemunduran bangsa serta agama.

Hasya lillah…pada dasarnya kalau kita telisik lebih dalam tentang tasawuf, justru kita akan menemukan hal-hal yang sangat berseberangan dengan imej diatas. Misalnya adalah konsep takhalli, tahalli dan tajalli (cabut , tanam, petik hasil). Apakah yang dimaksudkan dengan konsep cabut, tanam, dan petik hasil itu? Secara mudah bisa diartikan bahwa orang mau menikmati hasil panen harus melewati beberapa tahapan yaitu pencerabutan akar-akar dosa dengan taubat, kemudian mananamkan benih dengan beramal sholeh baru setelah itu sang salik bisa menikmati hasil.

Bisa dibayangkan proses tersebut tidaklah semudah membalikan telapak tangan, proses diatas menuntut akan adanya sebuah kemauan besar dalam diri kita, kemudian kesungguhan dan keuletan agar hasil yang akan dipetik bisa maksimal. Namun terkadang para salik terjebak pada rutinitas spiritual saja sehingga mengabaikan sisi sosial atau duniawi mereka, sehingga terimejkan bahwa mereka adalah para pemalas.

Maulana syeikh Mukhtar ali, syeikh TDM menegaskan kepada murid-muridnya agar tidak mengabaikan kewajiban mereka sebagai khalifah di muka bumi, mereka bertugas untuk memakmurkan bumi dan seisinya, maka jangan sampai kalian tinggalkan kewajiban dunia. Sebagai contoh, kita sebagai mahasiswa hendaknya benar-benar melaksanakan kemahasiswaan kita, dengan belajar yang tekun dan sungguh-sungguh, jangan bermalas-malasan dan lain sebagainya.

Dalam hal in maulana syeikh Mukhtar memberikan tauladan yang agung, misalnya pada saat imtihan beliau sangat marah kalau para anak didiknya mengaji padanya sampai larut malam, beliau menginginkan agar kita konsentrasi dahulu ke ujian. Contoh lain yang beliau lakukan adalah dengan mendidik anak kandungnya sendiri, yang putra berkasil mendapatkan gelar master dari salah satu universitas terkemuka di inggris dalam bidang tehnik perairan, kemudian anak yang putri dalam waktu dekat ini akan mengadakan sidang magisternya dalam bidang farmasi. Dari sini sangat jelas bahwa tasawuf adalah media positif dalam kesuksesan salik di dunia dan akhirat, baik dari sisi teori maupun aplikasi. Maka masihkah kita malas-malasan? Dan akankah TDM berimej jelek gara-gara kemalasan kita? Buktikan kalau kita bukan pemalas. Wallahu a’lam