::SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI::
ARSIP-ARSIP BLOG

Minggu, 19 Agustus 2007

Doaku Untuk Indonesia


Oleh: A. Mustofa Bisri


Untuk mencapai Multazam, daerah antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah, terutama di musim haji, sungguh diperlukan ‘perjuangan’ tersendiri. Meskipun tidak sesulit mencium Hajar Aswad, untuk mencapai tempat mustajab itu, di samping diperlukan keberanian, juga keahlian berjalan di tengah-tengah gelombang manusia yang nota bene saudara-saudara sendiri yang sama-sama mencari ridha Allah.

Lain soal jika kita hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan orang lain hingga menganggap wajar menyikut kanan-kiri.

Kepada istri saya yang ingin sekali memanjatkan doa di tempat mustajab itu, saya janji: kita boleh kesana, asal tidak mendesak-desak dan apalagi menyakiti orang. “Caranya,” kata saya, “kau lentur-lemaskan tubuhmu; kalau ada sikut mendesakmu, ikuti saja arahnya. Jangan kau lawan dengan tenagamu. Ikuti arus mereka yang menuju kesana.”

Alhamdulillah; tanpa merasa sakit atau menyakiti, kami bisa sampai ke Multazam. ‘Silakan kau panjatkan doa-doamu;” kata saya kepada istri saya ketika posisi kami sudah cukup dekat dengan Ka’bah, “aku akan menjagamu agar kau tetap khusyuk.”

Setelah cukup lama dia berdoa, dia pun berputar mengambil posisi di belakang punggung saya seraya katanya, “Sekarang kau yang berdoa biar aku ikut mengamini.”

Saya pun berdoa. Singkat saja; mendoakan Indonesia dan bangsa Indonesia.

Dari Multazam, kami – Alhamdulillah – berhasil salat sunnah di Maqam Ibrahim dengan relatif dapat menjaga kekhusyukan. Disini saya berdoa lagi dan istri mengamini.

Pulang dari Masjidil Haram, istri saya membisiki saya dengan berbagai pertanyaan. Di Multazam dan Maqam Ibrarim yang mustajab itu, mengapa doa saya itu-itu saja. Mendoakan Indonesia dan bangsa Indonesia. Mengapa saya tidak berdoa untuk keluarga, untuk anak-anak dan kawan-kawan dekat kita.

“Kita kan masih mempunyai waktu banyak untuk berdoa;” kata saya menjelaskan, “lagi pula, bukankah kita sudah berniat dan bertekad sejak dari Indonesia akan memprioritaskan doa untuk negeri dan bangsa kita?”

“Kau pun harus ingat,” kata saya selanjutnya, “kita, keluarga, dan kawan-kawan kita adalah bagian dari bangsa Indonesia yang tinggal di Indonesia. Kalau kita berdoa untuk bangsa Indonesia bukankah berarti kita juga mendoakan diri kita; keluarga; dan kawan-kawan kita juga. Kalau kita mendoakan Indonesia berarti mendoakan tempat tinggal kita sendiri. Bukankah cobaan atau azab yang saat ini menimpa negeri dan bangsa kita terasakan juga oleh kita?”

“Doa baik sama saja dengan kebaikan itu sendiri. Maksud saya; apabila kita terlalu mementingkan dan mengharapkan kebaikan untuk diri atau keluarga kita sendiri, salah-salah justru kita tidak dapat ‘menikmati’ kebaikan tersebut. Taruhlah misalnya kita atau keluarga kita makmur, damai, dan sejahtera; tapi lingkungan dan tempat di mana kita tinggal melarat, kacau, dan rusuh, apakah artinya? Kita baik, tapi lingkungan kita buruk, apakah kau yakin dapat mempertahankan kebaikan itu?”

“Itulah sebabnya,” lanjut saya seperti pengkhotbah, “kebanyakan doa-doa yang diajarkan kitab suci Quran, menggunakan shiighah jamak, bentuk kata ganti orang pertama jamak: kami bukan mufrad, tunggal: aku. Dan agaknya itu pulalah sebabnya, bila kau cermat memperhatikan, mengapa kita diwajibkan ber-amar-makruf-nahi-‘anil-munkar.”

“Seperti kau ketahui, amar makruf dan nahi ‘anil-munkar bertujuan untuk kebaikan bersama. Karena itu orang yang ananie, egois, tidak memiliki rasa kasih sayang, dan rasa kebersamaan, tidak mungkin diharapkan mampu melakukan amar makruf nahi ‘anil-munkar yang sebenarnya.”

Waba’du; mungkin ada baiknya saya tuliskan doa saya tersebut. Satu dan lain hal, agar bila Anda cocok, dapat ikut mengamini. Siapa tahu Anda lebih didengar oleh Allah. Inilah doa yang saya ulang-ulang di tempat-tempat mustajab saat berhaji waktu itu:

“Bismillahirrahmanirrahim walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin.

Ya Allah ya Tuhan kami Yang Maha Pengampun dan suka mengampuni; ampunilah kami, khususnya hamba-hambaMu bangsa Indonsia. Ampunilah dosa-dosa kami dan dosa-dosa para pemimpin kami.

Ya Allah ya Tuhan kami Yang Maha Pengasih; kembalikanlah kasih-sayang dan rahmatMu kepada rakyat dan negeri kami, Indonesia. Kembalikan akal sehat dan rasa kemanusiaan kepada rakyat dan pemimpin-pemimpin kami. Lepaskan kami dan pemimpin-pemimpin kami dari belenggu penjajahan apa saja, termasuk penjajahan oleh diri dan kepentingan sendiri.

Ya Allah ya Tuhan kami Yang Maha Penyayang; rekatkanlah kembali kesatuan dan persatuan di antara kami. Jangan biarkan nafsu; angkara; dan kepentingan sesaat mencabik-cabik persaudaran kebangsaan kami. Lepaskanlah kami dari krisis-krisis jalin-jemalin yang melilit bangsa kami dan keluarkanlah kami dari kemelut berkepanjangan yang menimpa kami.

Ya Allah ya Tuhan kami Yang Maha Kuasa. Jangan lagi kuasakan atas kami, karena kesalahan-kesalahan kami, penguasa-penguasa yang tidak takut kepadaMu dan tidak mempunyai belas-kasihan kepada kami.

Rabbanaa aatina fiddunya hasanah; wafil akhirati hasanah; waqinaa ‘adzaaban naar. Washallallahu ‘alaa sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa aalihi washahbihi wasallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.”