::SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI::
ARSIP-ARSIP BLOG

Sabtu, 22 Desember 2007

SENI (2/2)


Sambungan......

Atas dasar inilah, hendaknya dipahami hadis-hadis yang
melarang menggambar atau melukis dan memahat makhluk-makhluk
hidup.

Apabila seni membawa manfaat bagi manusia, memperindah hidup
dan hiasannya yang dibenarkan agama, mengabadikan nilai-nilai
luhur dan menyucikannya, serta mengembangkan serta memperhalus
rasa keindahan dalam jiwa manusia, maka sunnah Nabi mendukung,
tidak menentangnya. Karena ketika itu ia telah menjadi salah
satu nikmat Allah yang dilimpahkan kepada manusia. Demikian
Muhammad Imarah dalam bukunya Maalim Al-Manhaj Al-Islami yang
penerbitannya disponsori oleh Dewan Tertinggi Datwah Islam,
Al-Azhar bekerjasama dengan Al-Mahad Al-Alami lil Fikr
Al-Islami (International Institute for Islamic Thought).

b. Seni Suara

Ada tiga ayat yang dijadikan alasan oleh sementara ulama untuk
melarang --paling sedikit dalam arti memakruhkan-- nyanyian,
yaitu: surat Al-Isra (17): 64, Al-Najm (53): 59-61, dan Luqman
(31): 6.

Surat Al-Isra dimaksud adalah perintah Allah kepada setan:

Hasunglah siapa yang kamu sanggup (hasung) diantara
mereka (manusia) dengan suaramu, dan kerahkanlah
terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang
beralas kaki dan berserikatlah dengan mereka pada
harta dan anak-anak, dan beri janjilah mereka. Tidak
ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka kecuali
tipuan belaka.

Kata suaramu dalam ayat di atas menurut sementara ulama adalah
nyanyian. Tetapi benarkah demikian? Membatasi arti suara
dengan nyanyian merupakan pembatasan yang tidak berdasar, dan
kalaupun itu diartikan nyanylan, maka nyanyian yang dimaksud
adalah yang didendangkan oleh setan, sebagaimana bunyi ayat
ini. Dan suatu ketika ada nyanyian yang dilagukan oleh bukan
setan, maka belum tentu termasuk yang dikecam oleh ayat ini.

Surat Al-Najm yang dimaksud adalah:

Apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini
(adanya Kiamat)? Kamu menertawakan dan tidak
menangis? Sedang kamu samidun (QS Al-Najm [53]:
59-61).

Kata samidun diartikan oleh yang melarang seni suara dengan
arti dalam keadaan menyanyi-nyanyi. Arti ini tidak disepakati
oleh ulama, karena kata tersebut walaupun digunakan oleh suku
Himyar (salah satu suku bangsa Arab) dalam arti demikian.
Tetapi dalam kamus-kamus bahasa seperti --Mujam Maqayis
Al-Lughah-- dijelaskan bahwa akar kata samidun adalah samada
yang maknanya berkisar pada berjalan bersungguh-sungguh tanpa
menoleh ke kiri dan ke kanan, atau secara majazi dapat
diartikan serius atau tidak mengindahkan selain apa yang
dihadapinya.

Dengan demikian, kata samidun dalam ayat tersebut dapat
diartikan lengah karena seorang yang lengah biasanya serius
dalam menghadapi sesuatu dan tidak mengindahkan yang lain

Dalam Al-Quran dan Terjemahnya Departemen Agama RI kata
samidun diartikan seperti keterangan di atas, yakni lengah.
Kalaupun kata di atas dibatasi dalam arti nyanyian maka
nyanyian yang dikecam di sini adalah yang dilakukan oleh
orang-orang menertawakan adanya hari kiamat, dan atau
me1engahkan mereka (1ari peristiwa yang seharusnya memilukan
mereka.

Ayat ketiga yang dijadikan argumentasi keharaman menyanyi atau
mendengarkannya adalah surat Luqman ayat 6

Di antara manusia ada yang mempergunakan lahwa
al-hadits (kata-kata yang tidak berguna) untuk
menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa
pengetahuan, dan menjadikan jalan Allah itu
olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh siksa yang
menghinakan.

Mereka mengartikan kata-kata yang tidak berguna (lahwa
al-hadits) sebagai nyanyian.

Pendapat ini jelas tidak beralasan untuk menolak seni-suara,
bukan saja karena lahwa al-hadits tidak berarti nyanyian,
tetapi juga karena seandainya kalimat tersebut diartikan
nyanyian, yang dikecam di sini adalah bila kata-kata yang
tidak berguna itu menjadi alat untuk menyesatkan manusia. Jadi
masalahnya bukan terletak pada nyanyiannya, melainkan pada
dampak yang diakibatkanya.

Sejarah kehidupan Rasulullah Saw. membuktikan bahwa beliau
tidak melarang nyanyian yang tidak mengantar kepada
kemaksiatan. Bukankah sangat populer di kalangan umat Islam,
lagu-lagu yang dinyanylkan oleh kaum Anshar di Madinah dalam
menyambut Rasulullah Saw.?

Thalaa al-badru alaina. Min tsaniyat al-wadai
Wajabasy syukru alaina. Ma daa lillahi dai
Ayyuha al-mabutsu fina. Jita bil amril muthai

Memang benar, apabila nyanyian mengandung kata-kata yang tidak
sejalan dengan ajaran Islam, maka ia harus ditolak. Imam Ahmad
meriwayatkan bahwa dua orang wanita mendendangkan lagu yang
isinya mengenang para pahlawan yang telah gugur dalam
peperangan Badr sambil menabuh gendang. Di antaranya syairnya
adalah:

Dan kami mempunyai Nabi yang mengetahui apa yang akan
terjadi besok

Mendengar ini Nabi Saw. menegur mereka sambil bersabda:

Adapun yang demikian, maka jangan kalian ucapkan.
Tidak ada yang mengetahui (secara pasti) apa yang
terjadi esok kecuali Allah (Diriwayatkan oleh Ahmad).

Al-Quran sendiri memperhatikan nada dan langgam ketika memilih
kata-kata yang digunakannya setelah terlebih dahulu
memperhatikan kaitan antara kandungan kata dan pesan yang
ingin disampaikannya.

Sebelum seseorang terpesona dengan keunikan atau kemukjizatan
kandungan Al-Quran, terlebih dahulu ia akan terpukau oleh
beberapa hal yang berkaitan dengan susunan kata-kata dan
kalimatnya, antara lain menyangkut nada dan langgamnya.

Walaupun ayat-ayat Al-Quran ditegaskan oleh Allah bukan syair,
atau puisi, namun ia terasa dan terdengar mempunyai keunikan
dalam irama dan ritmenya. Ini disebabkan karena huruf dari
kata-kata yang dipilihnya melahirkan keserasian bunyi, dan
kemudian kumpulan kata-kata itu melahirkan pula keserasian
irama dalam rangkaian kalimat ayatayatnya.

Bacalah misalnya surat Asy-Syams, atau Adh-Dhuha atau Al-Lahab
dan surat-surat lainnya. Atau baca misalnya surat An-Naziat
ayat 15-26.

Yang ingin digarisbawahi di sini adalah nada dan irama yang
unik itu. Ini berarti bahwa Allah sendiri berfirman dengan
menyampaikan kalimat-kalimat yang memiliki irama dan nada.
Nada dan irama itu tidak lain dari apa yang kemudian
diistilahkan oleh sementara ilmuwan Al-Quran dengan Musiqa
Al-Quran (musik Al-Quran). Ini belum lagi jika ditinjau dari
segi ilmu tajwid yang mengatur antara lain panjang pendeknya
nada bacaan, bahkan belum lagi dan lagu-lagu yang
diperkenalkan oleh ulama-ulama Al-Quran. Imam Bukhari, dan Abu
Daud meriwayatkan sabda Nabi Saw.:

Perindahlah Al-Quran dengan suara kamu.

Bukankah semua ini menunjukkan bahwa menyanyikan Al-Quran
tidak terlarang, dan karena itu menyanyi secara umum pun tidak
terlarang kecuali kalau nyanyian tersebut tidak sejalan dengan
tuntunan Islam.

SENI ISLAM

Apakah seni suara (nyanyian) harus dalam bahasa Arab? ataukah
harus berbicara tentang ajaran Islam? Dengan tegas jawabannva
adalah: Tidak. Dalam konteks ini, Muhammad Quthb menulis.

Kesenian Islam tidak harus berbicara tentang Islam.
Ia tidak harus berupa nasihat langsung, atau anjuran
berbuat kebajikan, bukan juga penampilan abstrak
tentang akidah. 'Seni yang Islami adalah seni yang
dapat menggambarkar wujud ini, dengan bahasa yang
indah serta sesuai dengan cetusan fitrah. Seni Islam
adalah ekspresi tentang keindahan wujud dari sisi
pandangan Islam tentang alam, hidup, dan manusia yang
mengantar menuju pertemuan sempurna antara kebenaran
dan keindahan. Boleh jadi seseorang menggambarkan
Muhammad Saw. dengan sangat indah sebagai tokoh
genius yang memiliki berbagai keistimewaan.
Penggambaran semacam ini belum menjadikan karya seni
yang ditampilkannya adalah seni yang Islami, karena
ketika itu ia baru menampilkan beliau sebagai
manusia, tanpa menggambarkan hubungan beliau dengan
hakikat mutlak yaitu Allah Swt. Penggambaran itu
tidak sejalan dengan pandangan Islam menyangkut
manusia. (Baca selengkapnya Manhaj Al-Tarbiyah
Al-Islamiyah. hlm. 119).

Anda boleh memilih objek dan cara menampilkan seni. Anda boleh
menggambarkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat di mana
Anda berada. Anda boleh memadukannya dengan apa saja, boleh
berimajinasi karena lapangan seni Islami adalah semua wujud,
tetapi sedikit catatan, yaitu jangan sampai seni yang Anda
tampilkan bertentangan dengan fitrah atau pandangan Islam
tentang wujud itu sendiri. Jangan sampai, misalnya pemaparan
tentang manusia hanya terbatas pada jasmaninya semata atau
yang ditonjolkan hanya manusia dalam aspek debu tanahnya,
tidak disertai dengan unsur roh Ilahi yang menjadikannya
sebagai manusia.

Jika catatan ini diindahkan, maka pada saat itu pula, seni
telah mengayunkan langkah untuk berfungsi sebagai sarana
dakwah Islamiyah.

Islam, melalui sumber utamanya Al-Quran, bahkan melukiskan
dengan sangat indah, kelemahan-kelemahan manusia; gejolak
nafsu berahi pun ditampilkannya, Dan dirayunya pemuda yang ada
di rumahnya? ditutupnya semua pintu amat rapat. Ssambil
berkata Inilah daku. Sesunguhnya dia telah bermaksud melakukan
itu dan pemuda itu pun bermaksud ... Begitu sekelumit dari
sisi kelemahan manusia yang diabadikan oleh Al-Quran dalam
kisah Yusuf (QS 12: 23-24). Tetapi Al-Quran tidak larut dalam
melukiskannya --karena ini dapat menghanyutkan, tetapi juga
dia tidak berhenti sampai di sana. Karena itu baru aspek debu
tanah manusia, kisahnya dilanjutkan dengan menggambarkan
kesadaran para pelaku, sehingga pada akhirnya bertemu debu
tanah dan ruh Ilahi itu pada sosok kedua hamba Allah itu.

Allah Swt. meyakinkan manusia tentang ajarannya dengan
menyentuh seluruh totalitas manusia, termasuk menyentuh hati
mereka melalui seni yang ditampilkan Al-Quran, antara lain
melalui kisah-kisah nyata atau simbolik yang dipadu oleh
imajinasi: melalui gambaran-gambaran konkret dari gagasan
abstrak yang dipaparkan dalam bahasa seni yang mencapai
puncaknya. Dapat dipastikan bahwa Al-Quran menggunakan seni
untuk dakwah, dan dapat pula dipastikan bahwa selama ini, kita
belum memanfaatkan secara maksimal apalagi mengembangkan apa
yang dicontohkan Al-Quran itu.

Kalau Al-Quran menggambarkan dalam bahasa lisan sikap dan
gejolak hati manusia, maka tentu tidak ada salahnya jika sikap
dan gejolak hati itu digambarkan dalam bentuk bahasa gerak dan
mimik, bersama dengan bahasa lisan. Itulah salah satu contoh
pengembangan, karena menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk
bukan berarti kita harus menirunya dalam segala hal, tetapi
dalam bidang seni misalnya, ia berarti menghayati jiwa
bimbingan dan nafas penampilannya, kemudian setelah itu
mempersilakan setiap seniman untuk menerjemahkan jiwa dan
nafas tersebut dalam kreasi seninya.

Al-Quran misalnya menjadikan kisah sebagai salah satu sarana
pendidikan yang sejalan dengan pandangannya tentang alam,
manusia, dan kehidupan. Maka pada saat seseorang menggunakan
kisah sebagai sarana pendidikan seni dan hiburan dengan tujuan
memperhalus budi, mengingatkan tentang jati diri manusia,
menggambarkan akibat baik atau buruk dan satu pengamalan, maka
pada saat itu, seni yang ditampilkannya adalah seni yang
bernafaskan Islam, walaupun di celah-celah kisahnya dilukiskan
kelemahan manusia dalam batas dan penampilan yang tidak
mendorong kejatuhannya.

Al-Quran dan sunnah misalnya melukiskan alam dengan begitu
indah, berdialog, dan bersambung rasa dengan manusia. Dan pada
saat kita menikmati suatu lukisan yang hidup, maka kisah itu
telah memerankan pandangan Islam tentang alam, tidak jauh
berbeda dengan ungkapan Rasulullah Saw. ketika melukiskannya
dengan bahasa lisan

Gunung ini (Uhud) mencintai kita dan kita pun
mencintainya

Memang Al-Quran, demikian juga sunnah, sangat memperhatikan
sisi hidup pada penggambaran yang diberikannya. Perhatikan
bagaimana Al-Quran melukiskan tanah yang gersang sebagai tanah
yang mati, dan tanah vang subur sebagai tanah yang hidup (QS
Al-Baqarah [2]: 164). Bahkan dengarkan bagaimana Al-Quran
melukiskan alam raya ini bagai sesuatu yang hidup dan mampu
berdialog.

Kemudian Allah menuju kepada penciptaan langit, dan
langit (ketika itu) masih merupakan asap, lalu Dia
berkata kepadanya dan kepada bumi, Datanglah kamu
berdua menurut perintah-Ku suka atau tidak suka!
Keduanya menjawab, Kami datang dengan suka hati (QS
Al-Fushshilat [41]: 11).

Bahkan segala sesuatu hidup bertasbih kepada Allah:

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di
dalamnya bertasbih kepada-Nya (Allah). Tiada sesuatu
pun melainkan bertasbih. dengan memuji-Nya, tetapi
kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun. Lagi Maha
Pengampun (QS Al-Isra[17]: 44).

Tentu penggambaran alam raya ini sebagai sesuatu yang hidup,
bukan sekadar bertujuan seni, tetapi untuk mengingatkan kepada
manusia bahwa alam raya adalah sesuatu yang hidup dan memiliki
kepribadian. Sehingga manusia perlu menjalin hubungan
persahabatan dengannya, atau paling tidak alam raya perlu
dipelihara, dijaga kesinambungannya serta dilimpahkan
kepadanya rahmat dan kasih sayang.

SENI DAN BUDAYA ASING

Islam dapat menerima semua hasil karya manusia selama sejalan
dengan pandangan Islam menyangkut wujud alam raya ini. Namun
demikian wajar dipertanyakan bagaimana sikap satu masyarakat
dengan kreasi seninya yang tidak sejalan dengsan budaya
masyarakatnya?

Dalam konteks ini, perlu digarisbawahi bahwa Al-Quran
memerintahkan kaum Muslim untuk menegakkan kebajikan,
memerintahkan perbuatan makruf dan mencegah perbuatan munkar.

Makruf merupakan budaya masyarakat sejalan dengan nilai-nilai
agama, sedangkan munkar adalah perbuatan yang tidak sejalan
dengan budaya masyarakat.

Dari sini, setiap Muslim hendaknya memelihara nilai-nilai
budaya yang makruf dan sejalan dengan ajaran agama, dan ini
akan mengantarkan mereka untuk memelihara hasil seni budaya
setiap masyarakat. Seandainya pengaruh --apalagi yang
negatif-- dapat merusak adat-istiadat serta kreasi seni dari
satu masyarakat, maka kaum Muslim di daerah itu harus tampil
mempertahankan makruf yang diakui oleh masyarakatnya, serta
membendung setiap usaha --dari mana pun datangnya-- yang dapat
merongrong makruf tersebut. Bukankah Al-Quran memerintahkan
untuk menegakkan makruf?!

Demikian, sekelumit yang dapat dikemukakan tentang seni dalam
wawasan Al-Quran. Agaknya kita dapat menyimpulkan bahwa
Al-Quran sangat menghargai segala kreasi manusia, termasuk
kreasi manusia yang lahir dari penghayatan rasa manusia
terhadap seluruh wujud ini, selama kreasi tersebut sejalan
dengan fitrah kesucian jiwa manusia.[]

----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.