::SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI::
ARSIP-ARSIP BLOG

Sabtu, 24 November 2007

Biografi Ahlul Bait 1

Imam Abdul Wahab al-Sya’roni 898-973 H

(sang alim yang menjual buku)

Syahdan, pada malam ke dua puluh tujuh ramadhan 898 H terlahirlah ke dunia ini seorang bayi yang kelak menjadi imam besar di abad ke sembilan hijriah. Beliaulah imam Abdul Wahab yang kemudian terkenal dengan julukan al-Sya’roni. Tepat pada malam yang lebih baik dari seribu bulan itu beliau terlahir dari keturunan ahli bait, di sebuah daerah qalqasyandah mesir. Namun belum genap dua bulan dari hari kelahiranya, beliau sudah diajak pindah ke daerah yang bernama sakiyah abi sya’rah, tanah dimana orang tua beliau terlahir, dan dengan daerah itu pula nama beliau dinisbatkan, hingga melengkapi nama besarnya yaitu sya’roni.

Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa nama beliau adalah Abdul Wahab bin Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Zufa bin syeikh musa Abul Imron hingga nasabnya berakhir pada sayyidina imam Ali bin Abi Tholib karamallahu wajhah. Sebelum menginjakan umur yang ke sepuluh beliau sudah menjadi yatim piatu, tanpa ayah juga ibu. Walaupun demikian, hal tersebut tidak mengurangi semangatnya dalam mencari ilmu pengetahuan yang kelak menjadikanya salah satu ulama berkaliber internasional. Masa kecilnya beliau lewatnya dengan rajin beribadah, menghafal quran dan pelajaran, bahkan hafal dan menguasai kitab al ajrumiyah di bawah bimbingan saudaranya, Abdul Qodir di usia yangmasih senja yakni delapan tahun.

Dalam hal pengembaraanya mencari ilmu, memang beliau diberikan anugerah yang tiada tara berupa tiadanya halangan apapun yang merintanginya untuk terus bermulazamah dengan para ahli ilmu. Hingga dalam kitab lathaif al-minan wa al-akhlaq beliau sendiko “ diantara karunia besar yang Allah anugerahkan kepadaku adalah tiadanya hambatan yang merintangiku dalam menuntut ilmu dan beribadah semenjak masa kecilku, demikian juga dengan qona’ah terhadap kehidupan dunia dan kenikmatanya sehingga aku terhindar dari mala petaka dan fitnah duniawi, dan Allah juga tidak henti-hentinya memberikan aku rizki yang seakan tidak terputus dari sumber yang aku tidak tahu datangnya”. Wajar kalau kegemaran beliau dalam membaca kitab dan menela’ahnya serat beribadah selama tujuh belas tahun di masjid al-gamra semrnjak umur dua belas tahun bisa menjadikan beliau sebagai salah satu dari ulama yang sangat disegani taringnya sesaat setelah kepindahan beliau ke madrasah umm Khund.

Karena sikap beliau yang santun dan berbudi pekerti luhur terhadap setiap orang, lebih-lebih terhadap para ulama yang beliau ngalap ilmu dari mereka, membuat orang setiap orang semakin terpesona terhadapnya. Bahkan karena begitu terkesimanya sang guru, syeikul islam Zakaria al-anshari dalam kitab lathaif al-minan pernah bertutur “demi Allah seandainya memungkinkan, akan aku berikan kepadanya (imam sya’roni) seluruh ilmu yang kumiliki dalam satu majlis”. Begitu juga dengan guru-guru beliau yang lain semisal imam syihabuddin al-romli, syeikh nuruddin al-mahaly serta syeikh jalaluddin suyuthi dan lain sebagainya, mereka begitu cinta terhadap muridnya yang satu ini. Sebagaimana di nukil dari beberapa sumber, beliau ternyata telah berguru kepada sekitar tujuh puluh an guru dari berbagai macam disiplin ilmu yang dikajinya, mulai dari ilmu syariat, alat sampai ilmu hakekat. Kesemuanya itu beliau lalap dalam rangka penyempurnaan diri menjadi insan yang ‘alim dan ‘amil.

Dalam perjalananya mencari hakikat beliau sangat terkesan dengan salah satu gurunya yaitu sayyid Ali al-khowash yang telah menunjukinya jalan cepat menuju hakekat. Meskipun kehidupan sufi telah beliau laksanakan semenjak masa kecilnya, namun belum juga menemukan titik akhir sebuah tujuan yang sedang dikembaranya, dalam kitab al minan beliau berkata “telah aku jumpai banyak syeikh yang mengajariku tentang hakekat, namun belum juga aku sampai pada tujuan”, hingga suatu saat beliau bertemu dengan sidi Ali al-khowash.

Walaupun secara tampilan luar sidi ali al-khowash tidak menunjukan ke-alim-an nya, namun beliau begitu terkesan dengan gurunya yang satu ini, hingga beliau menggambarkanya dengan sosok yang khafa’ yang hampir semua orang tidak mengenal ke-alim-an dan ke-wali-an beliau, kecuali mereka para ulama khas. Bahkan dalam deskripsi imam sya’roni seakan-akan memberikan ketegasan akan kemuliaan sidi Ali al-khowash dengan mengatakan “jika seseorang telah mencapai suatu titik kesempurnaan maka dia akan kelihatan asing di mata para manusia”.

Awal hagah, ketika beliau telah bersumpah setia kepada sidi Ali al-khowash, beliau diperintahkan untuk menjual seluruh kitab yang dipunyainya dan bersedekah dengan uang hasil penjualanya itu, kemudian diwanti-wanti agar bisa memalingkan diri dari kitab itu semua dengan banyak dzikir dan wirid. Lalu beliau pun taslim terhadap semua yang diajarkan sang maha guru mulai dari uzlah, mujahadah dan dzikrullah. Setelah semuanya sempurna terlaksana di bawah bimbingan sidi Ali al-Khawash, maka jadilah beliau ‘amil yang amil dan alim, sebagai orang yang dzaqa wa ‘arafa.

Adapun karya-karya beliau yang bisa kita nikmati saat ini, diantaranya adalah al-anwar al-qudsiyah, al-bahru al-maurud, kasyful ghummah dan lain sebagainya. Semoga tulisan ini bisa menjadi teladan bagi kita bersama dalam berilmu dan beramal. Wallahu a’lam bi al-showab.

Disarikan dari buku tahqiq kitab al-anwar al-qudsiyah fi ma’rifati adab al-ubudiyah (imam Abdul wahab) karya Dr. Bastawis Muhammad, terbitan al-hai’ah al-masriyah al-‘ammah lilkitab tahun 2007.